WFH Demi Atasi Polusi Jakarta dan Ancaman Hangus Rp215 T Sekejap Mata

 

Jakarta, radarhukum.online - Polusi udara DKI Jakarta memburuk belakangan ini. Berdasarkan, pengukuran indeks kualitas udara versi AQAir pada Selasa (22/8), Jakarta pada pukul 12.20 WIB menempati peringkat ketiga sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia.

Dalam situs IQAir, indeks kualitas udara Jakarta mencapai 161, yang termasuk ke dalam kategori tidak sehat. Dengan kondisi ini, kualitas udara Jakarta lebih buruk dari ibu kota negara tetangga Malaysia, Kuala Lumpur (AQI 112) di momen saat ini.

Menyikapi kondisi itu, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri mewajibkan kantor-kantor pemerintahan se-Jabodetabek menerapkan kerja dari rumah atau work from home (WFH) bagi 50 persen aparatur sipil negara (ASN).

Kebijakan itu dituangkan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pengendalian Pencemaran Udara pada wilayah Jabodetabek.

"Untuk mengurangi jumlah kendaraan bermobilitas, kepala daerah diminta untuk melakukan penyesuaian kebijakan pengaturan sistem kerja yakni sedapat mungkin melakukan penerapan work from home (WFH) dan work from office (WFO) masing-masing sebanyak 50 persen bagi ASN di lingkungan perangkat daerah, karyawan BUMN, dan BUMD," kata Dirjen Administrasi Wilayah Syafrizal ZA melalui keterangan tertulis, Rabu (23/8).

Selain ASN, demi memerangi polusi, Kemendagri juga mendorong pengusaha menerapkan sistem kerja WFH

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan WFH sejatinya bukan solusi untuk mengurangi polusi udara di Jabodetabek belakangan ini. Alih-alih mengurangi polusi, WFH justru bisa membahayakan ekonomi.

Ekonomi bisa kembali minus seperti periode awal pandemi covid-19.

"Jika WFH diterapkan secara masif, otomatis situasinya akan mirip dengan situasi pandemik tempo hari, ekonomi minus," ujarnya kepada CNNIndonesia.com.

Menurut Ronny, dampak utama jika diberlakukan WFH akan terlihat pada penurunan produktivitas pekerja dan perusahaan, karena tidak semua jenis perusahaan bisa dijalankan dari rumah.

"Bagi sebagian perusahaan, WFH justru berarti berhenti produksi dan berhenti melayani, karena proses produksi dan pengadaan layanan tak bisa dilakukan secara WFH," imbuhnya.

Selain itu, Ronny melihat WFH memiliki multiplier effect yang cukup mengkhawatirkan dibandingkan dengan kerja dari kantor (Work From Office/WFO) yang memberikan dampak positif, misalnya bagi sektor transportasi, UMKM, serta makanan dan minuman.

"Nah, jika WFH diberlakukan lagi, multiplayer effect tersebut akan berhenti dan akan memberikan tekanan ke sektor lainya," jelasnya.

Ronny menilai jika kendaraan dinilai menjadi penyebab masalah udara, maka karyawan atau pekerja yang biasanya menggunakan kendaraan pribadi baik mobil maupun motor bisa beralih ke transportasi publik, seperti kereta, MRT, busway ataupun ojek online.

"Minimal jika satu karyawan berpindah dari motor pribadi ke ojek online, maka satu motor berkurang di jalanan, tapi sektor transportasi online tetap mendapat multiplier effect-nya, UMKM makanan dan minuman di sekitar kantor juga masih memiliki demand, dan lainnya. Jadi WFH bukanlah pilihan yang tepat," tegasnya.

Senada, Direktur Center of Law and Economic Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira juga menilai WFH bukan solusi untuk memperbaiki masalah polusi di Jakarta. Bahkan usulan WFH dipastikan akan ditolak oleh para pengusaha.

"Pelaku usaha termasuk UMKM akan keberatan pastinya. Kebijakan WFH punya risiko menurunkan berbagai indikator ekonomi di Jakarta dan sekitarnya," kata Bhima.

Menurut Bhima, bila WFH diterapkan tidak hanya untuk PNS Jakarta tapi juga pekerja swasta (non esensial), maka akan berpengaruh pada penurunan 40 persen pengeluaran rumah tangga di sektor transportasi. Artinya ada risiko kehilangan PDRB DKI Jakarta sekitar Rp215,8 triliun sepanjang 2023.

Potensi kehilangan pendapatan tersebut berdasarkan perhitungan asumsi rata-rata porsi pengeluaran rumah tangga untuk transportasi, rekreasi, komunikasi dan budaya sebesar 25,06 persen sepanjang 2018-2022 oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

"Jika WFH nya lebih tinggi, maka pengaruhnya akan lebih besar lagi. Itu baru dari transportasi, dan rekreasi," jelas Bhima.

Sementara, asumsi konsumsi rumah tangga DKI berdasarkan harga berlaku untuk 2023 sebesar Rp2.153 triliun di 2023. Artinya, bila efek WFH sampai membuat 30 persen pendapatan sektor hotel dan restoran berkurang, maka ada potensi tambahan kehilangan pendapatan sebesar Rp98,9 triliun.

Hal ini berdasarkan hitungan dari asumsi porsi pengeluaran masyarakat DKI untuk hotel dan restoran 2018-2022 sebesar 15,3 persen.

"Melihat simulasi dampak tersebut diperkirakan WFH tidak akan ditaati oleh para pelaku usaha. Apalagi (WFH) tidak menyelesaikan masalah polusinya, justru mengganggu produktivitas," pungkas Bhima.

Sementara itu dari sisi pengusaha, Ketua Apindo Shinta Kamdani mengatakan sejatinya para pebisnis mengapresiasi langkah mitigasi yang dilakukan pemerintah dalam menghadapi polusi udara belakangan ini. 
Namun, dunia usaha katanya, tetap memberikan catatan kritis, termasuk soal wacana penerapan sistem WFH yang diperluas ke sektor usaha. 

Ia mengatakan penerapan bisa saja dimungkinkan. Tapi yang menjadi catatan adalah tidak semua sektor usaha bisa menerapkan sistem kerja WFH. Sektor manufaktur misalnya.

Shinta mengatakan sistem kerja WFH tidak bisa diberlakukan pada sektor tersebut. Pasalnya, untuk berproduksi, pekerja sektor manufaktur wajib ada di lokasi usaha.

Alih-alih mendorong dunia usaha untuk ikut menerapkan sistem kerja WFH, Shinta justru meminta pemerintah membuat kajian komprehensif terlebih dulu soal apa sebenarnya faktor utama yang menyebabkan polusi Jakarta kian parah.

Ia juga meminta kajian itu dilakukan dengan menyertakan dampak ekonomi dan regulasi yang ditimbulkan masalah tersebut. 

"Termasuk merancang regulasi untuk menargetkan penurunan polusi berdasar kajian tersebut," katanya.

Kajian itu ia harapkan bisa menjadi acuan dalam membuat kebijakan penanganan polusi udara di Jabodebek yang lebih komprehensif dan jangka panjang.(red.nr)

0 Komentar