Jatim Sebagai Gudang Peternakan Punya Sejumlah Tantangan Seiring Perkembangan Zaman

   


  radarhukum.online - Surplus produksi hasil peternakan dalam beberapa tahun terakhir menjadikan Jawa Timur (Jatim) di-branding sebagai gudang peternakan di Indonesia.

Indah Aryani Kepala Dinas Peternakan Provinsi Jatim menjelaskan, pihaknya mencatat populasi sapi potong berkisar lima juta ekor atau kurang lebih 32 persen dari total populasi yang ada di Indonesia.

Demikian juga untuk populasi kambing yang meng-cover sekitar 48 persen dari total populasi yang ada di Indonesia. Serta, ras ayam petelur yang  memiliki potensi produksi nomor satu di Indonesia menjadikan Jatim sebagai penyangga kebutuhan protein hewani di Indonesia.

“Sehingga Jawa Timur ini menjadi penyangga untuk provinsi-provinsi lain di Indonesia. Kalau untuk kebutuhan di Jawa Timur sendiri, kita sudah surplus, tetapi kita mempunyai tanggung jawab untuk men-supply dan menopang (kebutuhan) provinsi lain di Indonesia,” bebernya waktu mengudara dalam program Merawat Bumi Majapahit Radio Suara Surabaya, Senin (23/10/2023) pagi.

Dinas Peternakan Jatim sendiri sudah memetakan, potensi ternak di masing-masing daerah. Untuk sapi potong Madura yang jadi kekayaan utama Jatim, produksi terbesar ada di Kabupaten Sumenep, Tuban, Kediri dan Nganjuk. Untuk sapi perah, ada di Kabupaten Pasuruan, Malang, Trenggalek, Blitar, Tulungagung, dan Magetan.

Sementara untuk unggas, produksi telur terbesar ada di Kabupaten Blitar yang ditopang Tulungagung, Kediri dan Magetan. Sedangkan untuk ayam pedaging ada di Kabupaten Lamongan, Gresik, Blitar, Mojokerto, Jombang, dan seterusnya.

“Jadi, kita sudah memiliki peta-peta potensi di masing-masing kabupaten/kota, yang ini sudah kita petakan secara perwilayahan, itu menjadi kantong-kantong yang akan kita support sesuai dengan potensi daerah masing-masing,” jelasnya.

Meski demikian, Indi sapaan akrabnya mengakui ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi kedepan, mulai dari tren peningkatan konsumsi, penyakit yang menyerang hewan ternak, sekaligus peningkatan populasi penduduk yang menggeser lokasi peternakan.

“Saat ini lifestyle-nya beda dengan 10 tahun yang lalu. Kalau kita mungkin yang di usia-usia 60 tahun atau lahir tahun 60-an itu kalau nggak bancaan (tidak syukuran), tidak makan telur, sekarang anak-anak kita makan telur sama makan ayam itu sudah jadi makanan sehari-hari. Sehingga susu juga demikian, termasuk juga daging,” ungkapnya.

Terkait penyakit yang menyerang hewan ternak, kata Indi, jenisnya banyak. Mulai dari penyakit lama yang muncul kembali, hingga disebabkan virus-virus baru.

Dia mencontohkan virus lama yang kembali muncul diantaranya Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), yang tahun lalu mengakibatkan belasan ribu hewan ternak seperti sapi, kerbau, hingga domba mati dan menyebabkan kerugian peternak.

“Sekarang ini flu burung juga ada strand baru, H5N8, yang ini juga mulai menyerang. Kemudian ada ASF, African Swine Fever, ini juga merupakan penyakit baru yang tadinya belum ada. Kemudian juga, penyakit lain yang tadinya ga muncul, sekarang muncul kembali, Antrhax yang kemarin lagi rame di DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) dan Jawa Tengah,” paparnya.

Demikian soal lahan ternak, menurutnya juga menjadi tantangan tensendiri. Kalau dulu peternakan selalu ditempatkan di lahan yang jauh dari pemukiman masyarakat, seiring perkembangan masyarakat yang pesat, pembangunan semakin lama membuat lahan ternak kehilangan tempat.

“Apalagi sekarang rumah potong hewan kita, udah di pinggir jalan, ini jadi permasalahan tersendiri. Belum lagi sekarang ada di era revolusi industri, yang semuanya harus digitalisasi, dan menuntut peternak-peternak kita juga harus melek teknologi. Nah ini tantangan secara umum, secara keseluruhan bagaimana kita mempertahankan Jawa Timur ini sebagai gudang ternak,” bebernya.

Untuk itu, Dinas Peternakan kini sedang menyiapkan rencana jangka panjang supaya para peternak bisa menghadapi berbagai tantangan tersebut. Terdekat, yaitu program Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) yang fokus pada pengendalian penyakit pada hewan ternak.

Dia merinci, untuk menjalankan program KIE, di Jawa Timur sendiri sudah ada kurang lebih 950 dokter hewan dan 1.500 paramedik yang tersebar di seluruh kabupaten/kota.

“Bahkan kita juga punya program namanya Gerakan Makan Telur Minum Susu dan Makan Daging untuk anak-anak Indonesia. Nah ini upaya-upaya pendekatan untuk membangun kecintaan mulai anak-anak muda biar mau berbisnis di bidang peternakan. Kita lakukan beberapa pendekatan, salah satunya adalah workshop-workshop yang kita lakukan tentang agrobisnis peternakan mulai hulu dan hilir, termasuk trading (perdagangan),” bebernya. (read.al)

0 Komentar