Top! Sapu Rayung Buatan Purbalingga Tembus Pasar Pakistan-Korea

  


Jakarta,    radarhukum.online     - Siapa yang tak kenal sapu, alat pembersih yang tak lekang oleh waktu meski bermunculan varian dengan teknologi modern. Sapu biasanya terbuat dari ijuk, namun ternyata juga bisa dibuat dari rangkaian rumput, loh kok bisa?

Bagi warga di Desa Karangreja, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Jawa tengah, rumput-rumput dari rayung atau gelagah mampu disulap menjadi sapu berkualitas ekspor dengan tujuan utama ke Pakistan, Korea hingga Taiwan. Setiap bulannya, para perajin bahkan mampu mengantongi omzet hingga ratusan juta rupiah.

Salah satu perajin sapu rayung, Dirsan menjelaskan rumput gelagah ini hanya tumbuh di Kabupaten Pemalang bagian selatan dan Kabupaten Purbalingga bagian utara. Lebih tepatnya di Purbalingga berada di wilayah Kecamatan Karangreja dan Karang Jambu. Sementara untuk Kabupaten Pemalang ada di Kecamatan Belek dan Watubung.

"Saya memilih bahan baku sapu rayung itu di sini tuh bahan bakunya ada banyak sehingga untuk kualitas bahan baku itu saya rasa di samping ramah lingkungan, bahannya juga termasuk rumput yang kuat untuk digunakan sebagai alat pembersih," ungkap Dirsan kepada detikcom belum lama ini.

Dirsan menjelaskan awal mula ia menggagas usaha kerajinan sapu rayung yakni pada tahun 2015. Melihat potensi wilayahnya yang banyak bahan baku rayung ia pun berinisiatif memberdayakan masyarakat untuk memproduksi sapu tersebut. Kini, Dirsan mengaku dapat memberdayakan sekitar 100 perajin sapu. Setiap harinya mereka dapat memproduksi sapu hingga 1.000 pcs.

"Sistem kerjanya masing-masing dikerjakan di rumah sendiri. Jadi kalau sudah selesai baru dibawa ke sini, setor, misalnya 200 pcs. Terus orang kan kalau bikin ini sistemnya per piece ongkosnya. Kalau sementara ini ya paling Rp 1.000 per pcs. Rata-rata pekerjanya ibu-ibu di beberapa desa," jelas Dirsan.

Desa Karangreja memang kaya dengan tanaman gelagah yang menjadi bahan dasar pembuatan sapu lantai ini. Rumput yang disulap menjadi produk bernilai ini bisa menjadi sumber pendapatan utama bagi penduduk sekitar. Sebab, tak hanya pasar lokal, sapu rayung ini juga diminati pasar internasional.

"Kalau yang lokal itu saya ada beberapa kota tujuan di antaranya kalau yang seperti ini, yang lakop itu saya ke Jawa Timur, Gresik, Semarang. Terus kalau yang wilayah barat itu ada Tasikmalaya, Sukabumi, Jakarta. Berarti ada 6 kota tujuan kalau di dalam negeri. Kalau yang untuk ke luar negeri itu negara-negara tujuan ada Pakistan, Korea dan Taiwan," jelas Dirsan.

Dirsan menjelaskan awal mula dirinya bisa menembus ekspor. Saat itu, anaknya bernama Purnomo turut membantu mempromosikan usaha sang Ayah di grup Facebook. Dari situ lah, perajin sapu ini terhubung dengan para buyer dari luar negeri.

"Kalau kita ekspor itu sebenarnya sudah beberapa tahun yang lalu cuma itu dari buyer-buyer yang dari luar itu yang datang ke sini sehingga saya cukup produksi, boleh dibilang jual di tempat. Jadi dia yang bayarnya yang datang ke sini, kita pesan, kita produksi, terus nanti kontainernya juga datang ke sini," ungkap Dirsan.

Adapun kapasitas ekspor, Dirsan mengaku pihaknya hanya mengirim sesuai pesanan masing-masing pembeli. Ada beberapa kontainer mulai dari ukuran 20 feet hingga 40 feet. Adapun untuk kontainer 20 feet, bisa memuat sekitar 45-50 pcs sapu.

"Kalau yang 40 feet adalah sekitar 60 ribu pcs. Jadi untuk negara tujuan itu berarti beda-beda. Biasanya kalau yang ke Pakistan itu menggunakan kontainer kecil 20 feet. Tapi kalau yang Korea itu menggunakan kontainer besar yang 40 feet," paparnya.

Seiring berjalannya waktu dengan semakin banyaknya pesanan, Dirsan tidak bisa menaikkan jumlah produksinya karena terkendala minim modal. Akhirnya, ia melakukan pinjaman ke BRI untuk membeli bahan baku agar bisa lebih banyak memproduksi sapu.

"Awal mulanya kita pinjem BRI itu sebenarnya dari tahun 2010-an. Alhamdulillah untuk perkembangan sampai sekarang ya sedikit demi sedikit ada perkembangan, tadinya pinjamannya kecil sampai sekarang, dari puluhan juta sampai sekarang pinjamannya ratusan juta berarti kan kita punya perkembangan," kata Dirsan.

"Kalau saya pinjam BRI itu sasarannya adalah untuk beli bahan baku. Kalau bahan baku kayak gini sekarang itu per kilonya sudah Rp 20 ribuan per kilogram. Sedangkan saya itu sudah ada sekitar 20 ton. Kalau dikalikan 20 ribu ada angka Rp 400 jutaan," imbuhnya.

Kini dengan semakin berkembangnya usaha, setiap bulannya Dirsan mengaku dapat mengantongi sekitar Rp 500 juta dengan rata-rata penjualan 50 ribu pcs baik untuk ekspor maupun lokal. Dirsan pun berharap ke depan usaha sapunya bisa tetap eksis dan bisa berkembang lagi.

"Harapan saya ke depan itu saya bisa tetap eksis diusaha sapu dan bisa berkembang lagi," pungkas Dirsan.

detikcom bersama BRI mengadakan program Jelajah Desa BRILiaN yang mengulas potensi dan inovasi desa di Indonesia baik dari segi perkembangan ekonomi, infrastruktur, hingga wisata serta dampaknya terhadap masyarakat lokal maupun nasional.(red.al)

0 Komentar